Beranda | Artikel
Tingkatan Mengambil Rukhshah
Senin, 22 Oktober 2018

Tingkatan Mengambil Rukhshah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pembahasan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya tentang mengenal rukhshah.

Apa itu Rukhshah?

Mengambil rukhshah memiliki hukum yang berbeda-beda tergantung dari keadaan dan latar belakangnya. Ada yang hukumnya wajib, sunah, atau mubah, dalam arti boleh memilih antara mengambil rukhshah atau meninggalkannya.

Berikut rincian yang kami sarikan dari kitab Taisir Ushul Fiqh – karya Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’.

[1] Boleh memilih antara mengambil rukhshah atau tetap konsisten dengan ‘azimah

Misal, tidak puasa bagi musafir ketika kondisi puasanya tidak mengganggu safarnya. Sehingga keadaannya sama antara tetap puasa dengan meninggalkan puasa. Maka musafir boleh memilih, antara melanjutkan puasa atau tidak berpuasa.

Sahabat Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah saya harus berpuasa ketika safar?’ dan Hamzah termasuk orang yang sering puasa. Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إن شئتَ فصُمْ، وإنْ شئتَ فأفطِرْ

“Jika kamu mau, silahkan puasa dan jika kamu mau, boleh tidak puasa.” (Muttafaq ‘alaih).

[2] Dianjurkan untuk mengambil rukhshah

Misal: Qashar shalat ketika safar

Ini termasuk rukhshah yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua safar beliau. Ditegaskan para ulama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun melakukan shalat wajib 4 rakaat ketika safar. Kebiasaan beliau ini menunjukkan bahwa mengambil rukhshah qashar ketika shalat dianjurkan.

Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa meng-qashar shalat 4 rakaat ketika safar hukumnya anjuran. Meskipun ada juga ulama yang memiliki pendapat berbeda, bahwa qashar ketika safar hukumnya wajib.

[3] Dianjurkan untuk tidak mengambil rukhshah

Misalnya bertahan untuk sabar ketika diganggu di jalan dakwah, seperti orang yang diminta untuk mengucapkan kalimat kekufuran dengan lisannya. Dia boleh mengambil rukhshah dengan mengucapkan kalimat itu, meskipun andai dia bersabar, meskipun sampai dibunuh, maka itu lebih afdhal.

Allah berfirman,

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. an-Nahl: 106).

Dulu ada sahabat yang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar segera berdoa untuk mendapatkan kemenangan. Kemudian beliau bersabda,

كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ، فَيُجْعَلُ فِيهِ، فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ، وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ، وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ، حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ، لاَ يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ، أَوِ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

“Dahulu pada ummat sebelum kalian, ada seseorang yang ditanam di tanah, lalu digergaji kepalanya hingga terbelah menjadi dua bagian, walau demikian, siksaan itu tidak mampu memalingkannya dari agamanya. Ada pula orang yang kepalanya disisir dengan sisir besi, sehingga kulit dan urat uratnya terpisah dari tengkoraknya, walau demikian, siksaan itu tidak mampu memalingkannya dari agamanya. Sungguh demi Allah, Ia pastilah menyempurnakan agama ini, hingga akan ada orang yang seorang diri bepergian dari kota San’a hingga ke Hadramaut, tanpa ada yang ia tukti selain Allah dan selain serigala yang mengancam domba-dombanya. Namun sayang sekali kalian adalah orang-orang yang tergesa-gesa.” (HR. Bukhari 3612)

Perjuangan orang soleh di masa silam dalam mempertahankan agamanya, hingga mereka harus menjalani siksaan yang mengancam nyawanya. Dan mereka tidak mengambil rukhshah dengan mengucapkan kalimat kekufuran yang mereka ajukan.

[4] Wajib mengambil rukhshah

Seperti: Makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.

Bangkai dilarang karena dzatnya bisa membahayakan bagi badan manusia. Ketika bangkai bisa menjadi sebab untuk mempertahankan hidup, bangkai dibolehkan.

Allah berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 173)

Sementara madharat makan bangkai, lebih ringan dibandingkan madharat kematian. Sehingga dihindari madharat yang lebih berat dengan memilih madharat yang lebih ringan.

Allah berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (QS. an-Nisa: 29).

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33481-tingkatan-mengambil-rukhshah.html